Prajurit wanita AS saat penugasan di Afghanistan |
Keterlibatan
prajurit wanita di medan pertempuran pada umumnya untuk mendapatkan simpati
masyarakat dan membangun suatu relasi yang baik antara militer dengan sipil
dimana wanita dianggap memiliki kepekaan sosial yang cukup baik dan mampu
beradaptasi dengan budaya lokal. Namun demikian tidak sedikit juga prajurit
wanita yang di libatkan dalam medan pertempuran di garis depan bersama dengan
prajurit pria lainnya.
Seperti yang dialami Letnan Kolonel Martha McSally pilot pesawat tempur Warthog A-10 berkebangsaan Amerika Serikat (AS) yang diberi tanggung jawab menjaga wilayah udara Afghanistan dan irak. Selama dalam penugasan Letkol Martha McSally bertempat tinggal di arab Saudi. Agar keberadaannya tidak dianggap riskan oleh masyarakat Arab Saudi Letkol Martha McSally mengenakan selembar kain sejenis abaya dan jilbab sebagai wujud penghormatan bagi masyarakat setempat yang memiliki sensitifitas budaya dimana menutup seluruh anggota badannya adalah wajib, selain itu atas desakan para pejabat militer AS, seluruh serdadu yang dikirim ke daerah penugasan untuk melakukan pendekatan budaya lokal sebagai wujud kepekaan sosial terhadap masyarakat sekitarnya.[1]
Seperti yang dialami Letnan Kolonel Martha McSally pilot pesawat tempur Warthog A-10 berkebangsaan Amerika Serikat (AS) yang diberi tanggung jawab menjaga wilayah udara Afghanistan dan irak. Selama dalam penugasan Letkol Martha McSally bertempat tinggal di arab Saudi. Agar keberadaannya tidak dianggap riskan oleh masyarakat Arab Saudi Letkol Martha McSally mengenakan selembar kain sejenis abaya dan jilbab sebagai wujud penghormatan bagi masyarakat setempat yang memiliki sensitifitas budaya dimana menutup seluruh anggota badannya adalah wajib, selain itu atas desakan para pejabat militer AS, seluruh serdadu yang dikirim ke daerah penugasan untuk melakukan pendekatan budaya lokal sebagai wujud kepekaan sosial terhadap masyarakat sekitarnya.[1]
Letkol Martha McSally |
Kebijakan
AS menempatkan prajurit wanita di medan operasi khususnya dalam pertempuran
mendapat beragam tanggapan dan tentangan dari konggres AS karena tidak sedikit prajurit
wanita yang sedang bertugas mengalami gangguan mental, depresi berat, stress
hingga pelecehan seksual dari rekan prajurit prianya dan tidak sedikit pula
yang meminta untuk mengundurkan diri dari tugas kemiliteran. Hal ini selain
disebabkan oleh faktor lingkungan tugas mereka yang tidak pada semestinya (ekstrem)
juga di sebabkan oleh faktor lain dimana terkadang mereka sulit menerima suatu
kejadian yang dianggapnya tidak manusiawi dan sulit diterima oleh akal sehat
mereka.
Perbedaannya dengan
prajurit wanita Indonesia
Prajurit wanita TNI di Lebanon |
Di
Indonesia sendiri, tidak ada aturan yang melarang prajurit wanita turut
berpartisipasi dalam suatu penugasan militer yang cenderung keras akan tetapi
sistem pengaturannya berdasarkan atas nurani dan sisi kemanusiaan dimana prajurit
wanita tidak bisa di jauhkan dari kodratnya sebagai wanita. Dilihat dari
seleksi penerimaan keprajuritannya saja sudah berbeda dimana calon prajurit
wanita mendapatkan porsi materi tes lebih ringan daripada calon prajurit pria.
Berbeda dengan prajurit wanita dari Negara lain sebut saja Spanyol yang
memberikan porsi sama antara prajurit pria dengan wanita dalam pelaksanaan
tugasnya, sedangkan TNI masih memegang adat ketimurannya dimana strata sosial masyarakat
masih di pegang teguh sebagai budaya[2].
Meski demikian dari segi kemampuan dan profesionalisme dalam bekerja tetap
tidak ada perbedaan / perlakuan istimewa dengan prajurit pria lainnya. Hal ini
dapat dilihat dari keikutsertaan prajurit wanita di organisasi TNI yang
tergabung dalam penugasan pasukan Garuda UNIFIL di Lebanon Selatan dengan
tugasnya yang beragam.
Oleh : Y. Aris Setiawan
Thanks for reading & sharing NIRMILITER
0 komentar:
Posting Komentar