Peradilan
koneksitas adalah suatu system peradilan yang diterapkan atas suatu tindak
pidana dimana diantara tersangkanya terjadi penyertaan antara penduduk
sipil dengan anggota militer. Menurut Prof Andi Hamzah yang dimaksud dengan
peradilan koneksitas adalah system peradilan terhadap tersangka pembuat delik
penyertaan antara orang sipil dengan orang militer[1]. Beliau juga berpendapat bahwa
di dalam peradilan koneksitas selalu terjadi penyertaan antara penduduk sipil
dengan orang militer. Dari pengertian di atas dapatlah kita lihat bahwa yang
menjadi permasalahan pokok di dalam peradilan koneksitas adalah mengenai
yuridiksi mana yang berwenang untuk mengadili perkara yang
melibatkan penyertaan antara penduduk sipil dengan anggota militer. Menurut
ketentuan pasal 50 UU No 2 tahun 1986 tentang peradilan umum dikatakan
bahwa “Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa,memutus, dan
menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama”, dari
ketentuan pasal 50 tersebut dapatlah kita lihat bahwa peradilan umum
mempunyai wewenang untuk mengadili perkara pidana, namun yang menjadi pertanyaan
adalah perkara pidana yang bagaimana yang dapat diadili oleh peradilan
umum, apakah semua perkara pidana dapat diadili oleh peradilan umum ?. Untuk melihat
hal itu maka isi ketentuan pasal 50 UU No 2 tahun 1986 tentang peradilan
umum itu harus dibandingkan dengan ketentuan pasal 9 angka 1 UU no 31 tahun
1997 tentang peradilan militer yang berisikan sebagai berikut :
“Pengadilan
dalam lingkungan peradilan militer berwenang:
1.
Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan
tindak pidana adalah :
a. Prajurit
b. Yang berdasarkan undang - undang
dipersamakan dengan prajurit.
c. Anggota suatu golongan atau jawatan
atau badan yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan
undang-undang.
d. Seseorang yang tidak masuk golongan
pada huruf a, huruf b, dan huruf c tetapi atas putusan panglima dengan
persetujuan menteri kehakiman harus diadili oleh suatu pengadilan
dalam lingkungan peradilan militer.
Secara
ringkasnya menurut ketentuan pasal 9 angka 1 undang-undang No 31 Tahun
1997 bahwa pengadilan dalam lingkungan peradilan militer berwenang untuk
mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh anggota militer, maka apabila
dilakukan penafsiran secara a contrario dapat dilihat bahwa apabilatindak
pidana yang dilakukan bukan oleh anggota militer maka pengadilan di dalam
lingkungan peradilanmiliter itu tidak berwenang untuk mengadilinya. Maka dari
ketentuan tersebut dapatlah kita lihat bahwapasal 9 angka 1 tersebut
merupakan ketentuan undang-undang yang bersifat lex special derogat
legegenerali terhadap ketentuan pasal 50 UU No 2 Tahun 1986 . Jadi dengan
demikian dapatlah ditarik kesimpulan bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh
bukan anggota militer merupakan yurisdiksidaripada pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum. Namun kemudian akan menjadi suatupermasalahan apabila ada
suatu tindak pidana dimana anggota militer dan penduduk sipil
bersama-samasebagai tersangkanya, pengadilan manakah yang berwenang untuk mengadilinya
?. Menurut ketentuan pasal 89 pasal (1) UU no 8 Tahun 1981 tentang
KUHAP dikatakan bahwa “ tindak pidana yang dilakukan bersama-sama
oleh mereka yang termasuk dalam lingkungan peradilan umum dan lingkungan
peradilanmiliter, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum kecuali menurut ketentuan menteri pertahanan dan keamanan dengan
persetujuan menteri kehakiman perkara itu harusdiperiksa dan diadili oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan militer”.
Dari
ketentuan pasal 89 ayat (1) tersebut dapatlah kita lihat bahwa dalam suatu
perkara koneksitas maka yang menjadi primusinterpares[2].
Adalah peradilan umum kecuali menurut keputusan menteri pertahanan dan keamanan
denganpersetujuan menteri kehakiman bahwa perkara itu harus diadili oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
Menurut
Prof Andi Hamzah ada ketidak serasian antara pasal 89 ayat (1) tersebut
dengan ketentuan pasal 90 ayat (1)[3] dimana pasal 90 ayat (1) KUHAP
tersebut antara lain menyebutkan “(1) Untuk menetapkan apakah pengadilan
dalam lingkungan peradilan militer atau pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum yang akan mengadili perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 89 ayat (1), diadakan penelitian bersama oleh jaksa atau jaksa
tinggi dan oditur militer atau oditur militer tinggi atas dasar hasil penyidikan
tim tersebut pada Pasal 89 ayat (2).” Dengan demikian menurut ketentuan
pasal 90 ayat (1)tersebut setiap kali terjadi suatu tindak pidana
koneksitas harus dilakukan penelitian bersama oleh jaksaatau jaksa tinggi
dan oditur militer atau oditur militer tinggi untuk menilai apakah tindak
pidana ituseharusnya menjadi kewenangan pengadilan dalam lingkungan peradilan
umum atau kewenangan daripengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
Padahal dikatakan pada pasal 89 ayat (1) bahwa padatindak pidana
koneksitas yang menjadi primus interpares adalah pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum. Menurut Prof Andi Hamzah seharusnya pasal 90 ayat (1)
mempunyai rumusan sebagai berikut “untuk menetapkan apakah menteri pertahanan
dan keamanan perlu memutuskan dengan persetujuanmenteri kehakiman,bahwa
pengadilan dalam lingkungan peradilan militer yang memeriksa dan mengadiliperkara
sebagaimana dimaksud dalam pasal 89 ayat (1), maka diadakan penelitian
bersama oleh jaksa atau jaksa tinggi dan oditur militer atau oditur militer tinggi
……”[4].
Jadi
dengan demikian menurut Prof Andi Hamzah dengan ditempatkannya pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum sebagai primusinterpares untuk tindak pidana
koneksitas sebagaimana dimaksud di dalam pasal 89 (1) KUHAP
tersebutmaka seharusnya tidak semua perkara tindak pidana koneksitas harus
dilakukan penelitian bersama oleh jaksa atau jaksa tinggi dan oditur
militer atau oditur militer tinggi, dengan demikian dapat ditarik kesimpulan
bahwa penelitian bersama sebagaimana dimaksud di dalam pasal 90 ayat (1)
KUHAPdilakukan apabila menurut menteri pertahanan dan kemanan dengan
persetujuan menteri kehakiman halitu perlu dilakukan.
Penyidikan dalam perkara
tindak pidana koneksitas.
Sebenarnya
dalam perkara koneksitas mempunyai tahapan yang sama dengan perkara
tindak pidana biasa, dimana di dalam perkara tindak pidana yang
bukan koneksitas dilakukan penyelidikanterlebih dahulu sebelum dilakukan
penyidikan maka di dalam perkara tindak pidana koneksitas punbegitu. Begitu
juga dalam hal bagaimana cara dilakukannya penyidikan dalam perkara tindak
pidanakoneksitas sama saja dengan cara dilakukannya penyidikan dalam perkara
tindak pidana yang bukankoneksitas. Yang menjadi perbedaan antara penyidikan
dalam perkara tindak pidana koneksitas denganpenyidikan dalam perkara tindak
pidana yang bukan koneksitas adalah siapa yang menjadi
penyidiknya.Seperti yang dapat dimengerti diatas bahwa suatu perkara koneksitas
merupakan pertemuan antara suatumekanisme di dalam peradilan umum dengan
peradilan militer, oleh karena itu yang menjadi penyidik didalam penyidikan
perkara tindak pidana koneksitas adalah penyidikan dalam lingkungan
peradilan umumbersama-sama dengan penyidik dalam lingkungan peradilan militer
yang dijabarkan di dalam pasal 89 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan antara
lain sebagai berikut :
“(2)
Penyidikan perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh
suatu tim tetap yang terdiri dari penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
dan polisi militer Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan oditur militer
atau oditur militer tinggi sesuai dengan wewenang mereka masing - masing
menurut hukum yang berlaku untuk penyidikan perkara pidana.” Ayat (3)
pasal itu menentukan cara pembentukan tim untuk menyidik perkara koneksitas
yang menyebutkan antara lain sbb:
“(3)
Tim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibentuk dengan surat keputusan bersama
MenteriPertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman”.
[2]
Primus interpares adalah suatu kedudukan yang sedikit lebih diutamakan dibandingkan
kedudukan yang lain.
Thanks for reading & sharing NIRMILITER
Penyidik mana yg berkah melakukan penyitaan barang bukti, terhadap tersangka sipil dan militer terhadap kasus narkoba, dimana barang bukti tersebut milik bersama, namun penguasaan awal ada sama oknum militer
BalasHapus