Salah satu orang yang
bagi saya penting, sudah lama saya kenal, dan tidak pernah berhenti menghargai
adalah tamu kita kali Prof. Dr. Dewi Fortuna Anwar. Ini sesuai yang tertulis di
kartu namanya. Tapi saya saya biasa memanggilnya Dewi saja. Dia kini deputi
bidang ilmu pengetahuan sosial dan kemanusiaan di Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI).
Beberapa hari lalu
atau mungkin dua minggu lalu, saya bertemu Dewi pada satu makan malam dengan
Duta Besar Australia dan beberapa orang Australia. Kami bicara mengenai Papua.
Australia tentu mempunyai perhatian untuk membahas itu terutama dari sudut
pandang mereka. Mereka merasa tidak punya aspirasi mendukung kemerdekaan atau
pemisahan Papua dari Indonesia, tapi suka disalahi saja. Sebaliknya orang
Indonesia suka tidak percaya juga bahwa Australia tidak mendukung karena banyak
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berpusat di sana mendukung
gerakan-gerakan pemisahan Papua. Juga pernah ada orang-orang yang kabur dari
Papua kemudian diberikan suaka di Australia. Jadi di tengah-tengah
kerancuan itu Dewi mengeluarkan satu poin yang sangat penting yaitu sejarah
Irian Barat adalah sejarah Republik Indonesia.
Dewi mengatakan sikap
Indonesia terhadap wilayah Timor atau gerakan di Aceh berbeda terhadap Irian
karena Irian tidak pernah dianggap sedikitpun menjadi bagian di luar Indonesia.
Dewi bisa menjelaskan mengenai Irian dari hal tersebut.
Benar
sekali. Bagi rakyat Indonesia dan Negara Republik Indonesia, dua wilayah yang
sering bermasalah yaitu Aceh dan Papua dari awal sudah merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Republik Indonesia. Jadi sejak kita memperjuangkan kemerdekaan
Republik Indonesia dari penjajahan Belanda, wilayah RI itu bagian paling Barat adalah
Aceh dan bagian paling Timur adalah Irian Barat. Itu memang merupakan bagian
yang dianggap warisan dari Hindia Belanda. Sedangkan sejarah Timor Timur
berbeda.
Timor Timur itu dulu ada
di bawah Portugis.
Ya,
Timor Timur dulu di bawah Portugis dan memang Indonesia sejak awal tidak pernah
mengajukan klaim terhadap wilyah Timor Timur. Indonesia masuk ke sana setelah
penjajah Portugal secara unilateral meninggalkan wilayah tersebut ketika
terjadi Revolusi Bunga di Portugal. Saat itu pemerintahan kanan berpindah ke
pemerintahan kiri sehingga pemerintahan kiri meninggalkan Timor Timur begitu
saja. Kita tahu waktu itu juga puncaknya dari perang dingin. Saigon (Vietnam)
baru saja jatuh ke komunis sehingga ada kekuatiran kalau Timor Timur jatuh ke
tangan komunis maka bisa menjadi semacam Kuba untuk Indonesia.
Jadi dalam hal ini
sekutu Barat pun tidak lepas tangan dalam kasus Timor-Timur.
Betul
sekali. Karena itu Washington (AS), London (Inggris), dan Canberra (Australiaa)
bersikap turning a blind eye lah. Setidaknya bisa dikatakan mendukung
secara diam-diam. Cuma permasalahannya, belakangan ada masalah pelanggaran hak
asasi manusia (HAM) dan sebagainya yang membuat kedudukan Indonesia di Timor
Timur menjadi sangat bermasalah. Sementara itu, kita melihat Gerakan Aceh
Merdeka secara substantif sebenarnya jauh lebih besar karena ada gerakan
bersenjata dalam waktu cukup lama, tapi itu kurang banyak mendapat perhatian
internasional. Misalnya, kurang banyak LSM di luar negeri yang menjadikan Aceh
sebagai isu internasional. Kita tahu banyak petingi-petinggi GAM yang lari ke
Swedia dan melancarkan perjuangan dari Swedia. Tapi tidak banyak LSM-LSM yang
berjuang sama seperti halnya mereka berjuang untuk mendukung kemerdekaan Timor
Timur dulu. Nah, ini berbeda dengan kasus Irian Barat atau Irian Jaya dan
sekarang kita beri nama Papua. Sejak awal, Irian masuk ke Indonesia pada 1963
sudah mulai banyak gerakan, baik dari orang-orang eks KNIL yang ada di Belanda,
Australiaa, maupun Amerika Serikat. Juga sudah banyak sekali LSM-LSM internasional
dan gerakan gereja yang mendukung semacam soft determination. Yang pertama
barangkali bukan LSM tetapi jaringan gereja. Dulu mereka mengkritik di
Indonesia terjadi Islamisasi atau Javanisasi karena pada 1970-an - 1980-an ada
transmigrasi besar-besaran ke wilayah Irian Barat.
Dewi sudah menunjukkan
Irian berbeda dengan kasus wilayah lain di Indonesia yang bermasalah. Tadi
tidak lama setelah Irian diintegrasikan kembali ke Indonesia sudah muncul pihak
atau organisasi yang sedikit banyak mendukung pembebasan Irian waktu itu
terutama dari pihak gereja.
Iya,
jadi ada dari pihak gereja dan sebagainya. Ini sebenarnya merupakan hasil dari
bom waktu yang ditanam Belanda. Ketika perundingan Meja Bundar di Belanda pada
Desember 1949, delegasi Indonesia dipaksa mengalah kepada Belanda karena
kedaulatan Indonesia diakui tetapi wilayah Irian Barat ditunda penyelesaiannya.
Pemerintah Indonesia terpaksa menerima hal tersebut supaya cepat ada realisasi
kedaulatan, supaya kita bisa merdeka, membangun, dan sebagainya. Wilayah Irian
Barat ini penting bagi Indonesia. Selama tahun 1950-an sampai awal 1960-an
yaitu kembalinya Irian Barat ke Indonesia, isu Irian Barat menjadi isu utama
baik dalam percaturan politik dalam negeri antara partai-partai maupun hubungan
antara Indonesia dengan dunia Barat.
Dalam keputusan
Konferensi Meja Bundar, apakah ada kesangsian mengenai masuk atau tidaknya
Irian Barat ke dalam wilayah Indonesia atau itu masalah penundaan waktu saja?
Indonesia
tidak pernah meragukan bahwa Indonesia berhak terhadap Irian Barat karena kita
berprinsip bahwa Indonesia itu tidak lebih dan tidak kurang daripada bekas
wilayah Hindia Belanda, dan Irian Barat itu adalah bagian dari Hindia Belanda.
Jadi
kita mengatakan hanya mengambil wilayah Hindia Belanda. Kita tidak mengambil
eks koloni Portugis atau Inggris. Kalimantan bagian Utara itu bekas wilayah
koloni Inggris. Seandainya Irian Barat bisa dipreteli maka Sumatera Timur juga
bisa dipreteli. Barangkali wilayah-wilayah lain juga bisa dipreteli. Jadi
Indonesia mengatakan Hindia Belanda. Nah, perjuangan Indonesia terutama dalam
forum internasional selama tahun 1950-an sampai 1963 adalah membebaskan Irian
Barat. Bagi Indonesia, Irian Barat itu memiliki makna juga karena jangan lupa
tokoh-tokoh nasionalis kita dibuang ke Boven Digul. Jadi bagi kita itu sudah
melahirkan suatu ikatan emosional. Kemudian kita lihat pertarungan di dalam
negeri sendiri antara pemimpin politik, partai-partai politik. Ada yang
mengatakan kita pragmatis saja karena revolusi kita sudah selesai. Misalnya,
Bung Hatta yang dinamakan oleh Herbert Feith sebagai kelompok Administrator
mengatakan revolusi sudah selesai, kita membangun saja, dan untuk membangun
Indonesia perlu menjalin hubungan dengan negara-negara Barat termasuk eks
koloni.
Bukankah saat itu
kelompok Administrator versus Solidarity Maker?
Ya,
benar. Jadi kelompok administrator mengatakan urusan sekarang bukan urusan
revolusi tapi urusan governing, urusan administrasi.
Apakah mereka kelompok
garis lunak?
Ya,
garis lunak. Mereka mengatakan kita ambil garis kooperatif untuk mendatangkan
investasi dan dukungan dari negara-negara Barat yang penting untuk pembangunan.
Kita upayakan penyelesaian masalah Irian Barat melalui perundingan. Jadi
Indonesia berusaha berunding dengan Belanda berkali-kali baik secara bilateral
maupun melalui PBB. Sementara kelompok yang lebih Nasionalis Kanan, agak garis
keras, mengatakan revolusi belum selesai, perjuangan kemerdekaan belum selesai.
Kalau Irian Barat tidak kembali, maka kita harus merebutnya.
Siapa saja yang berada
di garis tersebut?
Solidarity
Maker, kelompok yang mengutamakan semangat revolusioner, ini dipimpin Bung
Karno. Tetapi di belakangnya adalah terutama kelompok nasionalis Partai
Nasional Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI), dan sebagainya. Ini
akhirnya seperti saya katakan tadi bahwa isu Irian menjadi bond of
contention. Isu yang menjadi fokus, menjadi masalah besar.
Dewi mungkin bisa
cerita, bagaimana end of free choice tersebut?
Jadi
isu Irian dibawa ke meja perundingan di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Indonesia kalah. Hal itu memicu kemarahan di Indonesia sehingga akhirnya posisi
kelompok Administrator menjadi terpinggirkan.
Apakah maksudnya itu
posisi kelompok Administrator menjadi lemah?
Iya,
dan karena kekecewaan dengan upaya damai tersebut maka muncullah gerakan
nasionalisasi terhadap aset-aset Belanda. Jadi kita anti Belanda. Ini dampaknya
tidak sedikit, tidak sekadar nasionalisasi. Saat itu satu-satunya organisasi
yang dianggap mampu mengelola aset-aset usaha Belanda ini seperti perkebunan,
perusahaan minyak, dan pertambangan adalah tentara. Dari sini sebenarnya mulai
aktualisasi dari dwi fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Jadi ABRI untung dong
dengan Indonesia kalah di PBB sehingga ada alasan masuk ke bisnis.
Betul.
Jadi masalah masuknya tentara ke sektor bisnis mulai dari sini. Itu juga karena
waktu itu sebagian besar perkebunan dan perusahaannya ada di luar Jawa sehingga
dikontrollah oleh tentara.
Apakah kalau bukan ABRI
maka tidak ada yang bisa mengurus?
Ya,
memang belum ada karena belum ada kelompok sipil yang memilikitraining waktu
itu. Jadi ini memang trend di dunia ketiga yaitu tentara menjadi agen
pembangunan, pembaharuan.
Jadi
jangan lupa, masalah Irian Barat ini banyak sekali dampaknya. Kemudian
Indonesia waktu itu meminta tolong ke Amerika Serikat (AS) supaya menekan
Belanda mau berunding dengan Indonesia. Tapi Presiden AS saat itu Eishenhower
dan menteri luar negerinya John Foster tidak senang sama Bung Karno.
Apakah itu karena
Soekarno bersikap ke kiri?
Bung
Karno itu netral, non align, tapi malah dianggap terlalu ke kiri-kirian dan
dianggap non alignment. Itu immoral.
Betul. Mortality is
immoral
Ya.
Karena itu mereka tidak mau apalagi Belanda adalah sekutu dari Amerika Serikat
dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organization -
NATO) di Eropa. Jadi mereka lebih memprioritaskan membendung Uni Soviet.
Kemudian ada pergantian Presiden AS dari Eishenhower ke Kennedy. Tapi masih
belum juga ada perubahan. Jadi Bung Karno waktu itu jengkel sekali karena AS
tidak mau terlibat. Sebenarnya Bung Karno itu bukan komunis atau bukan pro
komunis karena dia membanggakan kenetralannya. Jadi dia tidak akan memihak. Namun
akibat jengkel dengan AS maka Bung Karno mengirim Jenderal Nasution ke Moscow
pada akhir 1950-an untuk membeli senjata di Moscow.
Jadi dari situ kita
mulai mempunyai pesawat MIG.
Iya,
pesawat MIG dan sebagainya sehingga saat itu Indonesia memiliki angkatan
bersenjata terbesar di Asia Tenggara. Sebagian besar itu dari Uni Soviet.
Tetapi kita tidak mampu membeli beras. Hanya saja itu persoalannya lain lagi.
Tetapi kita memiliki senjata banyak.
Bukankah saat itu kita
juga Rusia membuatkan Stadion Utama Senayan?
Iya,
dan Rumah Sakit Persahabatan. Itu adalah persahabatan dengan Rusia.
Rumah Sakit persahabatan
Rusia, hebat sekali. Semua itu gara-gara Irian.
Iya
dan Rusia senang sekali karena waktu itu Rusia bersaing tidak hanya dengan AS
tapi juga China. Saat itu pada waktu yang bersamaan terjadi split antara Moscow
dengan Beijing untuk menjadi pemimpin dunia.
Selanjutnya,
ketika Bung Karno mulai membeli senjata besar-besaran dari Uni Soviet, Presiden
AS Kennedy ketakutan terjadi insiden Bay of Pigs di Kuba yang dikhawatirkan
menjadi krisis nuklir pada tahun 1961. Jadi Kennedy tidak melihat Indonesia ini
terlalu penting di lingkungan Asia Tenggara sehingga dibiarkan saja Indonesia
jengkel dengan Belanda dan AS. Akhirnya Indonesia makin dekat ke Uni Soviet, dan
Beijing. Tapi karena itu nanti akan merugikan blok Barat tidak hanya secara
taktikal tapi juga strategis, maka Washington akhirnya terkait kepentingan
strategis AS tadi mulai berubah. Ini agar tidak kehilangan Indonesia, tidak
jatuh ke kelompok komunis.
Apakah AS tulus
mendukung Indonesia dalam memperjuangkan Irian?
Di
dalam hubungan internasional itu masalah ketulusan tidak ada. Itu masalah
kepentingan.
Waktu itu saya masih
kecil, jadi saya heran kok AS yang semula musuh tapi ketika Kennedy menjadi
presiden bisa menjadi teman. Apa itu karena orangnya cakep?
Pertama,
itu karena partainya berbeda. Eishenhower dari Partai Republik jadi lebih cold
warrior betulan, sedangkan Kennedy seorang bintang baru dari Partai
Demokrat dan ingin lebih pluralis dalam pendekatannya. Dia keras juga ketika
harus menghadapi Prancis, misalnya. Tetapi dia juga melihat sedang menghadapi
masalah di Vietnam. Saat itu masalah di Vietnam sudah mulai muncul. Seandainya
Indonesia juga hilang jika masuk ke kelompok komunis, maka pengaruh AS akan
mundur, kalah dibandingkan dengan Uni Soviet. Akhirnya, Washington intervensi
tapi yang membuat Washington merasa perlu intervensi dan menekan Belanda adalah
karena Indonesia tadi menggertak dan sudah melakukan pembelian besar-besaran
terhadap senjata.
Ya. Waktu itu untuk
menyelenggarakan operasi militer seperti yang dilakukan Yos Sudarso.
Betul.
Jadi dalam hal ini bisa dikatakan sejarah Irian Barat adalah sejarah Republik
Indonesia. Sejarah politik domestik seperti bagaimana semakin terpinggirkannya
kelompok Administrator, semakin munculnya kelompoksolidarity maker, dan
bagaimana isu Irian bisa dijadikan untuk menghimbau massa oleh kelompok PKI. Partai
Komunis itu paling jago memobilisasi massa secara besar dan isu yang demikian
inilah yang mampu meningkatkan emosi nasional massa waktu itu.
Ok, poinnya jelas yaitu
Irian sangat penting untuk Indonesia bukan dibuat-buat oleh siapa-siapa tapi
adalah masalah nasional. Lalu, bagaimana tafsiran Anda terhadap posisi
Australia mengenai gerakan Papua?
Saat
sebelum negosiasi Belanda mengembalikan ke Indonesia, Belanda juga melakukan
pendekatan dengan Australia. Australia dulu berusaha membeli papua dari Belanda
karena Australia takut musuh dari Utara seperti Jepang dan sebagainya bisa
masuk dari Papua untuk akhirnya mendarat di Australia seperti terjadi pada
waktu perang dunia kedua.
Jadi
ini masalah strategis juga. Tapi belakangan posisinya berbeda. Nah dalam hal
ini sekarang situasi berubah. Australia mengatakan menghormati integritas
wilayah Indonesia. Tetapi jangan lupa, kebijakan satu pemerintahan bisa saja
berubah kalu terjadi tekanan publik. Bagi kita, sekarang ini yang paling
penting Irian Barat atau Papua adalah bagian yang tidak terpisahkan dari batang
tubuhnya Indonesia. Namun demikian jangantake for granted, kontrol kita
terhadap wilayah-wil`yah kita sendiri. Kalau kita mengabaikan wilayah kita,
kalau kita melanggar HAM, kalau kita tidak memperhatikan keadilan dan
kesejahteraan, maka Jawa Tengah saja bisa meminta merdeka. Apalagi wilayah yang
jauh yang memang secara logis lebih sulit dikontrol. Jadi kalau kita membuka
celah ketidakpuasan di dalam negeri, maka celah itu bisa dieksploitasi oleh
pihak luar.
Apakah celah itu ada
atau tidak di Indonesia?
Nah,
celah inilah yang selalu menjadi perhatian. Saya kira semua mengakui dan harus
jujur mengakui bahwa pembangunan selama ini lebih terfokus di wilayah Barat
karenaa wilayah Papua ini memang lokasinya jauh dari Jakarta. Wilayahnya juga
sangat luas, transportasi juga sulit di sana. Bahkan belakangan ini kita juga
mendengar ada kasus kelaparan lingkungan rusak di sana. Seolah-olah ada kesan
bahwa Jakarta hanya peduli kepada sumber daya alam dari Papua saja. Ada kesan
kita ingin mengeruk untuk bisa dinikmati seluruh Indonesia saja tetapi sumber
daya manusia Papua sendiri cenderung kita abaikan. Hal-hal seperti ini saya
kira memang lama terjadi di Indonesia dan inilah justru menjadi entry
point bagi pihak luar seperti LSM, pihak gereja., dan sebagainya untuk
masuk. Kedua, yang perlu diperhatikan juga adalah orang Papua secara rasial
dari kelompok Melanesia, bukan kelompok Melayu. Melanesia ini banyak terdapat
di wilayah Pasifik. Sekarang ini kita tahu juga ada kesadaran rasial dari
kelompok Melanesia sebagai Melanesia Brotherhood yang terkadang
mendukung untuk persatuannya. Kalau kita tidak hati-hati, kesadaran rasial ini
bahwa terjadi perbedaan atau diskrimasi terhadap mereka maka bisa menimbulkan
rasa tidak memiliki orang Papua terhadap Indonesia.
Apakah beralasan kalau
ada orang Indonesia yang jengkel atau kuatir terhadap Australia baik
pemerintahnya ataupun masyarakatnya?
Saya
kira beralasan karena kita tidak ingin masalah di dalam negeri makin diperkeruh
oleh kebijakan dari negara tetangga kita. Tetapi kita juga tahu termasuk di RT
kita, tetangga biasanya tidak bisa masuk ke dalam rumah tangga kita, kalau
rumah tangga kita tidak ricuh. Jadi dalam hal ini sebelum kita terlalu banyak
marah ke luar, harusnya kita marah ke dalam, bereskan yang di dalam, if you want to change your image, change your
reality. Itu selalu dikatakan oleh para diplomat. Jadi dalam
hal ini, kita juga mengatakan kepada tetangga kita yaitu mohon perhatian jangan
mempersulit masalah kami. Ke dalam kita justru harus lebih memperhatikan lagi
apa yang harus kita hindari dan apa yang harus kita lakukan. Jangan hanya
marah-marah ke luar, tapi masalah di dalam tidak kita selesaikan.
Timor-Timur yang sudah
menjadi negara sendiri saja mempunyai masalah. Sedangkan Aceh yang tetap
wilayah Indonesia, saya tidak tahu ada masalah atau tidak. Dibandingkan kedua
wilayah itu, apakah Papua sekarang termasuk lebih Ok atau lebih
mengkhawatirkan?
Begini,
ada orang yang mengatakan bahwa Aceh ini waktu dulu dapat ditangani, it was
big, tetapi still manageable karena tidak ada isu rasial dan tidak
ada isu agama. Nah, masalah Papua ini masih manageable juga karena
manusianya lebih sedikit, orangnya lebih terpencar-pencar, tetapi its
really unsolvedable (susah untuk diselesaikan) karena ada isu etnisitas,
isu agama. Jadi akan selalu ada perasaan diskriminasi dan sebagainya. Ini
memang lebih sulit karena Indonesia di sini boleh dikatakan menghadapi kelompok
yang dinamakan minority, waste, dan sebagainya. Itu sama yang dihadapi
oleh kelompok native-American di Amerika, kelompok Aborigin di
Australia kalau seandainya mereka diperlakukan diskriminatif seperti itu. Yang
kita inginkan adalah jangan sampai masyarakat Papua merasa seolah-olah mereka
itu alien minorities. Selain dari orang Jawa, kita semuanya minoritas.
Saya orang Minang adalah minoritas, Anda orang Sunda minoritas, tetapi kita
tidak merasa terpinggirkan. Jadi jangan sampai kelompok masyarakat Papua merasa
mereka itu minoritas yang tertindas. Tidak apa-apa menjadi minoritas tetapi hak
dan kewajibannya sama dengan yang lain.
Sbr
: Perspektif Baru
Thanks for reading & sharing NIRMILITER
0 komentar:
Posting Komentar