Saya tidak akan pernah bosan menulis topik
ini, karena banyak dari kalangan kami generasi muda Papua yang dicekoki argumen
yang salah tentang PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969). Kampanye
bahwa PEPERA itu ilegal karena terjadi
berbagai praktek yang tidak sesuai dengan hak asasi manusia, maupun
standar-standar hukum internasional (one people one vote),
sepintas memang tampak logis dan rasional. Tetapi sebetulnya, ia adalah bagian
dari upaya pihak asing untuk memisahkan Papua dari NKRI.
Padahal jika aspek HAM yang mau dikedepankan, mana yang lebih hakiki :melepaskan diri dari penjajah
atau teknis demokrasi one people one vote?Demokrasi baru bisa
dinikmati kalau penjajah sudah berhasil diusir. Tidak ada demokrasi di wilayah
yang sedang dijajah. Tegasnya, kita sudah berhasil mengusir penjajah dari
wilayah Nusantara, dan PEPERA 1969 itu adalah penegasan bahwa orang Papua
adalah Bangsa Indonesia.
Mengapa perlu penegasan? Karena Belanda tidak
mau kehilangan pengaruhnya di wilayah bekas jajahannya. Ia tidak mau melepaskan
Papua dengan berbagai dalih. Dan dalih-dalih itulah yang kemudian
ditransformasikan ke dalam pikiran kami generasi muda Papua saat ini.
Sekedar kilas balik, Proklamasi kemerdekaan
RI tanggal 17 Agustus 1945 meliputi wilayah Nusantara yang dijajah oleh Belanda
(wilayah Hindia Belanda). Wilayah itu adalah dari Sabang sampai Merauke. Ingat
azas Possedetis Juris yang mengatur bahwa batas wilayah negara bekas jajahan yang kemudian merdeka,
mengikuti batas wilayah sebelum negara tersebut merdeka.
Bukan pekerjaan mudah bagi Bung Karno dan
para founding fathers waktu itu untuk menata negeri yang baru merdeka ini.
Belanda yang sudah ratusan tahun menjajah negeri ini, enggan melepaskannya
dalam tempo singkat. Maka penyerahan kekuasaan atas wilayah NKRI yang sudah
diproklamirkan itu dilakukan secara bertahap oleh Belanda kepada Pemerintah
Indonesia. Ingat perundingan Linggarjati di Kuningan, Jawa Barat tanggal
11-12 November 1946 serta Perjanjian Renville tanggal 17 Januari 1948.
Gangguan keamanan terus terjadi di banyak
daerah. Ada juga gangguan
dari negara tetatangga Malaysia, serta pemberontakan di dalam negeri oleh anak
bangsa sendiri. (Detailnya kita bisa baca dari buku-buku otobiografi para
pelaku sejarah).
Dalam kondisi yang demikian, wilayah Papua
nyaris tak tersentuh, sehingga Belanda tampak leluasa menanamkan kuku
kekuasaannya. Namun perkembangan dunia internasional waktu itu tampaknya tidak
lagi berpihak pada para penjajah. Perang Dunia II telah mengubah semuanya.
Banyak bangsa-bangsa di Asia dan Afrika memproklamirkan kemerdekaannya dari penjajahan kulit putih.
Belanda Meniru Jepang
Dengan sendirinya keberadaan Belanda di Papua
kian terusik. Ditambah lagi dengan upaya diplomasi Indonesia yang menggalang
kekuatan dari bangsa Asia dan Afrika, serta dukungan peralatan perang dari
Sovyet membuat Belanda semakin terdesak. Dalam kondisi seperti itu, Belanda buru-buru membentuk
Dewan Nasional Papua serta pasukan tentara yang berisikan orang-orang Papua.
Tujuannya untuk mempersiapkan pembentukan negara (boneka) Papua. Berhasilkah Belanda?
Hal yang sama dilakukan Belanda sebelumnya
terhadap orang Maluku. Belandamembawa ribuan warga Maluku ke negaranya dengan
iming-iming akan membantu proses kemerdekaan Maluku Selatan (RMS). Namun yang
terjadi kemudian, keberadaan orang Maluku di Belanda malah menjadi duri dalam daging bagi Belanda
sendiri hingga saat ini.
Ini mirip
dengan apa yang dilakukan Jepang sebelumnya yang membentuk sebuah badan untuk
mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, yang kita kenal dengan nama PPKI atau
dalam bahasa Jepang Dokuritsu Zyunbi Tjosakai. Badan ini dibentuk tanggal 29
April 1945 dan para pengurusnya dilantik secara resmi oleh pemerintah
pendudukan Jepang pada tanggal 28 Mei 1945. Tetapi sejarah akhirnya menentukan
lain, kemerdekaan RI bukan karena buah “kebaikan” hati Jepang,
tetapi hasil perjuangan penuh darah dan airmata dari anak-anak negrinya
sendiri.
Klaim Indonesia
Kongres Rakyat Papua 1961 yang diklaim
sebagai dasar yang sah pengakuan kedaulatan rakyat Papua untuk membentuk
pemerintahan sendiri belumlah diakui secara international. Justru sebaliknya,
negara-negara barat pemenang perang dunia ke-2 seperti Amerika Serikat, Inggris
dll, mengakui klaim Pemerintah Indonesia yang menggunakan Peta Hindia Belanda
1931 dimana Papua ditempatkan dibawah kendali pemerintahan lokal Hindia Belanda
dengan Ambon sebagai ibu kota.
Itu berarti, klaim pemerintah RI menjadi
lebih legitimate secara hukum international ketimbang upaya Belanda memisahkan
Papua dengan mendorong Kongres Rakyat Papua 1961. Penentuan Pendapat Rakyat
atau Pepera 1969 hanyalah sebuah upaya “demokratis” dengan melibatkan
“unsur-unsur masyarakat Papua” demi melegalkan penyatuan wilayah setelah
Belanda dengan segala taktik dan strategi berupaya mengakali perjanjian yang
telah dibuat dan disetujuinya sendiri.
Hal ini sejalan dengan penuturan Peneliti Papua asal LIPI, Muridan Wijoyo yangmenjelaskan bahwa Pepera itu digelar untuk
menjalankan perintah dari perjanjian New York pada 1962, yang menyebutkan bahwa untuk memastikan apakah Papua bagian dari NKRI atau bukan
harus dilakukan Pepera. Pepera
1969 dihadiri oleh sekitar 1025 perwakilan rakyat Papua. Pepera digelar di
sejumlah kabupaten antara lain di Jayapura, Biak, dan Merauke. Berdasarkan
hasil Pepera saat itu, semua perwakilan menyatakan mau bergabung dengan RI.
“Hasil Pepera 1969 ini pun kemudian diakui
oleh PBB dan dikeluarkan resolusi yang menyatakan Papua sebagai bagian yang sah
dari NKRI. Resolusi ini juga disetujui 80 negara anggota PBB dan hanya 20
negara yang abstain,” jelasnya. “Tidak
ada negara di dunia yang menolak masuknya Papua ke Indonesia.”
Tegas Muridan.
Irian Barat sejak 17 Agustus 1945
sudah masuk dalam wilayah Republik Indonesia. Orang kadang-kadang
berkata, memasukan Irian Barat ke dalam wilayah Ibu Pertiwi. Salah! Tidak!
Irian Barat sejak daripada dulu sudah masuk ke dalam wilayah kekuasaan Republik
Indonesia…” (Pidato Bung Karno di Kota Baru, Jayapura, tanggal 4 Mei
1963)
Sekali lagi, sebelum ada PEPERA, Papua sudah
NKRI. Pepera digelar karena keras kepalanya Belanda yang enggan angkat kaki
dari Indonesia. Dan Pepera adalah hasil kesepakatan New York bahwa untuk memastikan apakah Papua bagian dari NKRI atau bukan. Dan… terbukti kan?
By : Kanis Wk / www.kompasiana.com/Kanis
Thanks for reading & sharing NIRMILITER
0 komentar:
Posting Komentar