Prajurit Kopassus TNI AD saat latihan |
Terkejut
baca berita-berita di Kompas.com kemarin tentang statement dari beberapa
petinggi TNI AD berikut Ketua Tim Investigasi TNI AD terkait penyerangan LP
Cebongan, Sleman, Yogyakarta, Brigjen TNI Unggul Yudhoyono, yang mengakui bahwa
oknum Grup II Kopassus Kartosuro adalah pihak penyerang empat tahanan terkait
pembunuhan Serka Santoso.
Ini
adalah sikap Ksatria dari Pimpinan-pimpinan TNI. Ini adalah sikap keterbukaan
dari pihak TNI dan sikap siap bertanggung jawab atas kesalahan anak-buahnya.
Suatu hal yang jauh berbeda bila hal-hal seperti ini yang terjadi ditubuh
instansi lain seperti Polri, Kejaksaan dan DPR.
Kita
semua tahu bahwa fakta dilapangan adalah beberapa anggota Kopassus melakukan
tindakan melawan hukum dengan cara meng-eksekusi mati 4 orang tahanan di LP
Cebongan Sleman. Perbuatan yang salah ini dilakukan anggota Kopassus karena
didasari motif rasa ketidak-adilan dimana rekan mereka Serka Heru Santoso
dibunuh secara keji oleh beberapa preman disebuah Café di Jogja dan juga
pembacokan keji terhadap Sertu Sriyono dalam waktu yang hampir bersamaan yang
juga dilakukan para preman Jogja, sementara itu pihak Polri “sepertinya”
melindungi para preman-preman yang melakukan kekejian itu. (Ada informasi lain
bahwa preman-preman yang dibantai di LP tersebut adalah Residivis/ Penjahat
kambuhan yang masih meraja-lela di Jogjakarta).
Melihat
komentar-komentar yang ada di Kompas.Com saya melihat begitu banyak komentar
dari masyarakat yang memberikan simpatinya kepada Kopassus dan TNI. Secara
hukum Negara prajurit-prajurit Kopassus itu salah, tapi di mata masyarakat yang
dilakukan oleh Kopassus itu bisa dimengerti dan dipahami oleh masyarakat.
Masyarakat
sebenarnya sangat iba pada prajurit-prajurit TNI kita. Prajurit-prajurit ini
yang setiap hari berjuang untuk melatih fisiknya, setiap hari berjuang
mempersiapkan dirinya dan senjatanya untuk membela Negara terhadap ancaman
musuh-musuh dari luar ternyata diperlakukan secara keji oleh preman-preman yang
ada. Prajurit TNI gugur atau belum gugur adalah Pahlawan Bangsa. Hanya
mereka-merekalah yang dipersiapkan oleh Negara ini untuk berjuang hidup dan
mati melawan musuh Negara. Kita semua harus menghargai hal itu.
Premanisme Harus Dikendalikan.
Mari
kita lihat kebelakang bahwa sejak berpisahnya Polri dari TNI, premanisme di
negeri ini begitu tumbuh subur. Di setiap kota-kota besar para-para preman
menguasai pusat-pusat perbelanjaan, pusat-pusat hiburan, titik-titik
tranportasi dan lokasi-lokasi strategis lainnya.
Mereka
para preman-preman ini sepertinya bisa tumbuh dan semakin kuat organisasinya.
Meskipun belum terbukti tapi sangat banyak masyarakat kita menduga keberadaan
preman-preman ini sengaja dipelihara oleh beberapa aparat Kepolisian yang
memang sering memanfaat keberadaan mereka untuk kepentingan-kepentingan pribadi
mereka.
Saya
tidak/belum berkesimpulan demikian tapi kalau melihat fakta di lapangan
sebenarnya ada ketidak-seimbangan yang signifikan antara jumlah pelaku
kejahatan/ jumlah kasus kejahatan dengan jumlah personil Polri.
Polri
saya pastikan sebenarnya dalam 1 dekade ini terbukti tidak mampu
melindungi masyarakat kita dari tindak laku kejahatan. Ini mungkin berkaitan
dengan jumlah personil Polri yang tidak seimbang dengan jumlah pelaku
kejahatan. Akibatnya adalah semakin banyak pelaku kejahatan yang tidak mampu
dipantau oleh Polri. Efek dominonya juga adalah preman-preman yang ada semakin
makmur saja. Sebut saja kelompok Hercules, John Key dan lainnya. Disisi lain
juga dengan minimnya jumlah personil Polri membuat ketidak-seimbangan supply on
demand sehingga fungsi personil Polri menjadi tinggi nilai jualnya. Efeknya
juga adalah anggota Polri semakin makmur, sebut saja Irjen Djoko Susilo dan
mungkin lainnya.
Harus Kembali Ke Zaman Soeharto?
Kondisi
yang seperti ini sangat berbeda jauh dengan bertahun-tahun lalu ketika Polri
masih dibawah TNI dimana setiap masalah di lapangan yang berkaitan dengan
kejahatan maupun ketertiban masyarakat, TNI selalu bersama-sama Polri mampu
membuat masyarakat lebih tertib dan mampu menekan tingkat kejahatan yang ada.
Banyak
orang bilang zaman Soeharto Negara ini lebih aman. Sekarang banyak penjahat,
sekarang setiap hari banyak demo dan lain-lainnya. Dulu penjahat-penjahat takut
berbuat jahat karena TNI siap menghabisi para penjahat. Dulu para pendemo takut
berbuat anarkis karena TNI juga siap meredam mereka. Sekarang ini tidak ada TNI
di jalan sehingga para penjahat menjadi lebih berani dan leluasa. Para pendemo
Anarkis juga semakin banyak. Lagipula sekarang ada HAM. Kalau penjahat disiksa
TNI, ada HAM yang siap menghukum TNI
Jadi
apakah kita harus kembali ke zaman Soeharto? Tentu saja tidak. Ini semua karena
kesalahan sistim keamanan dalam negeri kita. Ini karena kita terlalu bodoh
mencontoh sistim ketertiban Negara-negara lain yang secara geografis dan
demografi sangat jauh berbeda. Ini juga Karena DPR TERLALU BODOH dengan
membiarkan Polri dengan jumlah minim personilnya untuk bisa melindungi
masyarakat Indonesia dengan jumlah penduduk yang ada.
Negara
ini terlalu luas dan secara geografis membutuhkan suatu sistim keamanan dan ketertiban
yang lebih terpadu. Akses sistim keamanan harus memadai. Organisasi pengatur
keamanan dan ketertiban harus kuat. Disamping itu juga kondisi Demografi dimana
negeri ini multi etnis dan keragaman aliran kepercayaan juga membuat kita
menjadi rawan pertikaian hingga butuh sistim ketertiban yang betul-betul
memadai.
Tidak
salah kalau kita kembali melibatkan TNI dalam menjaga ketertiban negeri ini.
Kembali melibatkan TNI dalam menertiban masyarakat bukan artinya kembali mebuka
peluang terjadinya Rezim Militer. Zaman sudah berubah ke zaman reformasi
sehingga sangat memungkinkan bagi kita semua untuk bisa mengontrol TNI agar
tidak melebihi fungsinya. Dan untuk orang-orang sipil tidaklah perlu adanya
rasa ketakutan yang berlebihan akan munculnya Rezim Militer lagi.
Disisi
lain Komisi Nasional HAM juga harus kita awasi bersama-sama. Belakangan ini
terlalu sering Komnas HAM ngawur dalam berstatement. Yang terakhir ada
statement dari komnas HAM yang menyalahkan TNI yang gugur di Papua karena
ketidak-siapan TNI dalam mengantisipasi medan. Oknum Komnas HAM tersebut sempat
mengatakan TNI hanya tidur saja sehingga bisa ditembak gerombolan sipil
bersenjata.
Komnas
HAM selama ini hanya bersikap normative saja. Buat mereka judulnya ada
pelanggaran HAM atau tidak. Bagaimana bisa terjadinya suatu pelanggaran HAM
mana pernah mereka pikirkan. Ini harus diperbaiki untuk kedepan.
Kita
semua sangat berharap kondisi seperti diatas segera mungkin bisa diperbaiki dan
ditanggulangi. Tapi mungkin harapan kita akan perbaikan kondisi diatas bisa
dibilang sia-sia karena harapan itu hanya bisa diwujudkan oleh Lembaga
Legislatif negeri ini. Saat ini apakah yang bisa kita harapkan dari
anggota-anggota DPR kita?
Semoga…
semoga.. semoga…
Oleh : Rullysyah
Sbr : http://hukum.kompasiana.com/2013/04/05/we-love-tni-we-love-kopassus-548535.html
Thanks for reading & sharing NIRMILITER
mana dik katanya mau bantu buat blog saya menarik
BalasHapus